JEPARA – Mondes.co.id | Nisfu Sya’ban adalah peringatan setiap tanggal 15 bulan kedelapan (Sya’ban) dari kalender Islam.
Tahun ini, Nisfu Sya’ban jatuh pada Kamis (13/2/2025) malam.
Nisfu Sya’ban diartikan juga menjadi malam pengampunan dosa, malam berdoa, dan malam pembebasan.
Biasanya, masyarakat berkumpul di musala ataupun masjid untuk membaca surat Yasin dan berdoa bersama-sama.
Bacaan Yasin tersebut, bertujuan agar diberikan panjang umur, mendapatkan rezeki yang melimpah, serta tetap dalam keadaan Iman Islam hingga akhir hayat.
Masyarakat di Kecamatan Kalinyamatan mempunyai tradisi unik saat malam Nisfu Sya’ban.
Setelah membaca surat Yasin, mereka berkumpul di musala dan bancaan puli.
Puli adalah makanan yang terbuat dari nasi yang dicampur dengan zat pengenyal. Sebelum dimakan, mereka memanjatkan doa secara bersama-sama.
Puli berasal dari bahasa Arab Afwan Lii (Maafkan aku). Artinya, sebelum datangnya Ramadan, umat Islam diharapkan dalam keadaan bersih dari dosa.
Ada yang menyebut, Puli ini diyakini sebagai peninggalan Sunan Kalijaga, yang konon dibuat untuk mempersatukan keanekaragaman saat itu.
Sebagai bagian dari Walisongo, Sunan Kalijaga saat syiar Islam selalu mengajarkan toleransi antar umat beragama dalam kehidupan.
Diceritakan, Sunan Kalijaga ingin mempersatukan umat Islam dan non Muslim dengan momentum Nisfu Sya’ban.
Saat itu, seluruh warga yang hidup berdampingan dirangkul untuk beramai-ramai memasak “puli”, yang puncaknya dinikmati secara bersama-sama.
Tradisi ini saat ini masih dilestarikan, salah satunya oleh Mundrikah (54) warga RT 4 RW 1 Desa Purwogondo, Kecamatan Kalinyamatan.
Ia membuat makanan puli untuk dibawa ke musala dan dibagikan kepada keluarga dekatnya.
“Puli ini sudah menjadi tradisi turun temurun warga Purwogondo, Kalinyamatan saat Nisfu Sya’ban,” ungkap Mundrikah, Sabtu (15/2/2025).
Nisfu Sya’ban biasanya secara turun temurun sekaligus dijadikan momentum untuk mengenang leluhur.
Mundrikah mengatakan, untuk membuat Puli sangat mudah. Dengan bahan dasar beras 1,5 kilogram bisa jadi untuk satu nampan puli penuh.
Caranya beras dicuci bersih. Kemudian direbus hingga setengah matang. Setelah itu didiamkan hingga setengah dingin.
“Setelah setengah dingin, kemudian dicampur dengan obat puli (pengenyal), yang dibeli dari pasar,” kata dia.
Selanjutnya, puli dikukus hingga matang. Setelah matang, kemudian nasi puli tersebut ditaruh di atas wadah kemudian ditumbuk hingga halus.
“Jika masih panas tumbukan akan lebih ringan. Kalau dingin lebih berat,” kata dia.
Setelah ditumbuk hingga halus, puli ditaruh di atas wadah. Kemudian untuk memakannya bisa dipotong kotak kecil-kecil.
Untuk memakannya, ada yang hanya dimakan puli saja, namun ada pula yang dilengkapi dengan kelapa parutan.
“Ada juga yang memakan puli ini dengan serondeng dan juroh manis (air gula merah) ,” katanya.
Menurutnya, pada masa dulu hampir semua rumah saat Nisfu Sya’ban membuat puli untuk dibagikan kepada tetangga dan kerabat.
Namun, saat ini hanya sebagian kecil saja masyarakat yang membuat puli.
“Paling yang generasi tua yang masih membuat. Kalau yang muda tinggal beli saja,” kata dia.
Namun demikian, Mundrikah berharap tradisi membuat puli ini terus dilestarikan. Karena merupakan tradisi leluhur mereka sejak jaman dulu.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar