JEPARA – Mondes.co.id | Sebagai wilayah yang berada di pesisir Pantai Utara Jawa, Jepara mempunyai banyak cerita.
Pada kesempatan kali ini, Mondes.id berkesempatan membedah perjalanan pelabuhan Jepara dan Jalur Sutera perdagangan Nusantara bersama Wakil Ketua PCNU Jepara KH. Hisyam Zamroni.
Diceritakan, latar belakang Jepara merupakan salah satu wilayah maritim yang cukup fenomenal.
Jepara dikenal oleh para pelancong atau pedagang dunia kira-kira tahun 332 SM.
Pada tahun 322 SM, Pelancong dari Kota Mourya Ashoka India yaitu Ajisaka, mendarat di Jepara dan memberi Nama Gunung Mourya (Muria) yang bermula bernama Gunung Mahameru.
“Awalnya Gunung Muria dikenal sebagai Gunung Mahameru,” ungkap Hisyam mengawali cerita, Sabtu (15/3/2025).
Kala itu, Jepara menjadi tempat berlabuh kapal Ajisaka atas dasar dan petunjuk adanya Gunung Mahameru yang tertinggi di Pulau Jawa.
Setelah Ajisaka mendarat di Jepara, dia merubah nama Gunung Mahameru menjadi Mourya yaitu Ibu Kota Kerajaan Ashoka yang dijadikan hadiah persembahan kepada Raja Ashoka India, sebagaimana dalam catatan C.W. Leadbeater; 1979.
Berdasarkan catatan China, C.W. Leadbester; 1979 & Rashad Herman; 2012 bahwa Gunung Mourya adalah gunung yang aktif, di mana semburannya hingga ke wilayah Grobogan (sekarang disebut bledug kuwu).
Di mana semburan itu demikian tingginya, sehingga para pelaut dapat melihatnya.
Perjalanan waktu yang terus membentang, saat Jepara dipimpin oleh Ratu Shima dengan Kerajaan Holing atau Kalingga, Jepara menjadi tempat transit dan lintasan perdagangan dari mancanegara, bahkan tercatat sampai ke daratan Cina, Timur Tengah, Eropa, dan India.
“Para Pelancong dan Pedagang China pun mencatat bahwa Jepara pada abad ke-5 M telah memiliki kerajaan yang besar dan maju dalam perdagangan dengan bandar pelabuhan yang besar yaitu Kerajaan Holing atau Kalingga yang dipimpin oleh Ratu Shima,” kata Hisyam, mengutip tulisan Hamka tahun 2016.
Ratu Shima membuka jalur perdagangan maritim yang sangat luas yaitu lintas negara dan bangsa, baik ke China, India, Afrika bahkan Timur Tengah melalui bandar pelabuhan yang besar dan kuat.
Pada tahun 1368 M, masa Dinasti Ming, China mengirimkan para pekerja profesional/ahli ke Nusantara melalui bandar-bandar pelabuhan besar seperti Sambas, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Lasem, Tuban, Gersik, Surabaya, dan Jepara.
Khusus bagi mereka orang orang China yang ahli membuat kapal layar (Jung), pertukangan dan mengukir diturunkan di Jepara.
Dari sini kita tahu bahwa sejarah Ukir di Jepara adalah berasal dari China yang merupakan para ahli pertukangan dan ukir yang dikirim oleh Dinasti Ming tahun 1368 M, sebagaimana ditulis Rashad Herman; 2012.
Pada tahun 1500-an M. Pelancong Eropa seperti halnya Tome Pires mencatat bahwa ada dua Kerajaan di wilayah Jepara yaitu Kerajaan Tidunan yang dipimpin oleh Pate Orob dan Kerajaan Jepara yang dipimpin oleh Pate Unus yang memiliki bandar pelabuhan besar untuk transit dan perdagangan antar negara.
Dalam catatan Tome Pires, Pate Unus adalah Saudara Ipar Pate Rodim Raja Kerajaan Demak.
Bahkan Kerajaan Demak pun, karena posisi kerajaan di pedalaman, jika akan mengekspor hasil buminya seperti beras, rempah rempah, dan lain-lain ke mancanegara harus meminta izin kepada Kerajaan Jepara melalui Bandar Pelabuhan Jepara.
“Jadi, Demak dan Jepara pada masa itu adalah dua Kerajaan besar yang sejajar, dan Demak tidak memiliki bandar pelabuhan yang besar,” kata dia.
Pate Unus tercatat juga memiliki visi perdagangan yang maju dengan menjalin kerja sama perdagangan dengan kerajaan dan negara lain seperti kerja sama dengan Aceh, Sumatera, Palembang, Kalimantan, Malaka, Gujarat, Timur Tengah, China, dan lain-lain.
Olehnya, saat Portugis menguasai Malaka yang dianggap akan mengganggu perdagangan Nusantara, maka Pate Unus menyerang Portugis di Malaka sebanyak dua kali yaitu tahun 1513 M dan 1521M, ini sebagaimana catatatn Tome Pires; 2018.
Pada fase berikutnya, Jepara memiliki Pemimpin Perempuan yang sangat kaya, cerdas, dan kuat yaitu Ratu Kalinyamat.
Diago de Couto, seorang pelancong portugis mencatat, Kerajaan Jepara dipimpin oleh Ratu Kalinyamat yang memiliki kekayaan, kekuatan, dan bandar pelabuhan yang besar.
Jepara menjadi salah satu ikon dan pintu gerbang perdagangan yang sangat luas dari Aceh, Sumatera, Jawa, Malaka dan wilayah Timur Hitu bahkan sampai mancanegara.
Perdagangan Kerajaan Jepara tidak hanya pada penjualan beras, rempah-rempah, tapi juga merambah pada produk-produk kerajinan seperti ukiran, gerabah, keramik, dan lain-lain.
Sehingga Jepara menjadi sentra perdagangan dunia yang diperhitungkan, yang tidak hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri.
Olehnya, kepentingan alasan yang substansial dan ide cemerlang dan cerdas Ratu Kalinyamat menyerang Portugis di Malaka adalah menyelamatkan Jalur Sutra Perdagangan Nusantara dari para penjajah Eropa yang ingin menguasai Jalur Perdagangan Nusantara.
Oleh Couto, Ratu Kalinyamat disebut Rainha de Jepara, Senhora Paderosa e Rica ( Ratu Jepara, Seorang Wanita yang Kaya dan Berkuasa). Dari sana, yang sebenarnya mengapa Ratu Kalinyamat Layak dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional.
Penjajah Belanda pada tahun 1780 M memiliki andil besar dalam kemunduran Jepara yaitu memindahkan Bandar Pelabuhan Jepara ke Semarang.
Setelah Penjajah Belanda memindah Bandar Pelabuhan Jepara ke Semarang, Jepara tidak lagi menjadi ikon perdagangan dunia secara mandiri, sehingga Jepara menjadi kota yang “terpinggirkan dan terisolir”, walaupun produk-produk hasil kerajinan Jepara terlebih meubel ukiran masih mendunia, sebagaimana dalam tulisan M.C. Ricklefs; 2008.
“Setelah Bandar Pelabuhan Jepara dipindah oleh Penjajah Belanda ke Semarang, Jepara menerima sebuah kenyataan menjadi wilayah yang “terisolir” walaupun masih tetap memiliki produk produk yang diminati oleh mancanegara seperti kerajinan ukir, kain tenun troso, dan lain-lain,” kata Hisyam.
Dari keterangan di atas, jika mengikuti pendapat Mc. Luhan tentang Global Village, maka secara historis, Jepara merupakan kota yang mengglobal.
Keglobalan Jepara memiliki akar sejarah yang kuat melalui monumen besar yaitu kepemilikan Bandar Pelabuhan Jepara yang mendunia.
Gagasan menghidupkan dan membangun kembali Bandar Pelabuhan Jepara harus didukung bersama sebagai upaya meneruskan dan membuka jalur perdagangan Jepara untuk menembus kembali Jalur Sutra Perdagangan yang pernah ada di Jepara.
Pertanyaanya adalah, Mungkinkah ini dilakukan? Jawabannya adalah sangat mungkin.
Di era dunia yang sudah “terlipat dan melipat” ini, Jepara membutuhkan terobosan baru untuk dapat memudahkan dalam alur dan proses perdagangan yang mandiri dan kompetitif untuk menembus pasar Dunia.
Terlebih, Posisi Strategis Lautan Jepara yang menjadi lalu lintas kapal-kapal besar, akan menjadi modal dasar menghidupkan dan membangun kembali Bandar Pelabuhan Jepara.
Bentang Jalur perdagangan Aceh, Sumatera, Bangka Belitung, Kalimantan, Sulawesi, Surabaya, Bawean, Bali bahkan jalur perdagangan ke luar negeri melalui Jepara akan menjadi sangat strategis.
Bahkan apabila Bandar Pelabuhan Jepara sudah dibangun, boleh jadi akan mengancam keberadaan Bandar Pelabuhan Semarang yang sekarang ini sangat rentan dengan “banjir rob” dari laut.
Terlebih jika jalan Tol Semarang – Demak – Jepara dapat terealisasi, tidak menutup kemungkinan perdagangan ekspor-impor Jawa Tengah akan beralih ke Bandar Pelabuhan Jepara dengan alasan adanya jaminan keamanan, kenyamanan, dan kemudahan dalam pengiriman dan penerimaan barang-barang yang akan diekspor maupun diimpor ke dalam dan dari luar negeri.
Setidaknya Jepara memiliki modal dasar yang kuat baik historis maupun sarana prasarana lahan tanah yang luas dan memadahi untuk menghidukan dan membangun kembali Bandar Pelabuhan Jepara.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar