REMBANG – Mondes.co.id | Getaran spiritual dan persiapan khidmat mulai terasa di seluruh pelosok Pulau Jawa, seiring kian dekatnya Bulan Suro dalam kalender Jawa.
Bukan sekadar penanda pergantian tahun, Suro adalah bulan yang sangat disakralkan, dipenuhi tradisi adiluhung, ritual introspeksi, dan pantangan-pantangan yang diyakini membawa berkah atau musibah jika dilanggar.
Masyarakat Jawa menyambut bulan ini dengan penuh penghormatan, menjaga harmoni dengan alam dan leluhur.
Bulan Suro, yang dalam kalender Hijriah bertepatan dengan Muharram, adalah bulan pertama dalam penanggalan Jawa-Islam yang dimulai sejak masa Sultan Agung Mataram.
Selama bulan ini, berbagai upacara adat digelar, dari yang bersifat personal hingga komunal, mencerminkan kekayaan budaya dan filosofi hidup masyarakat Jawa.
Salah satu tradisi yang paling terkenal adalah Tirakatan atau Lelaku.
Masyarakat akan mengurangi kegiatan hura-hura, memperbanyak puasa, meditasi, dan doa.
Banyak yang memilih untuk bermalam di tempat-tempat keramat, seperti makam leluhur, puncak gunung, atau pantai selatan, untuk mencari ketenangan batin dan membersihkan diri dari hal-hal negatif.
“Suro itu waktunya ngrogoh sukmo (mengkaji diri), introspeksi, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Kami percaya, di bulan ini energi alam dan spiritual sangat kuat. Maka dari itu, penting bagi kita untuk menjaga hati, pikiran, dan perilaku agar selaras dengan kehendak Ilahi,” ujar Mbah Ngadiman, sesepuh asal Rembang.
Selain itu, tradisi Jamasan Pusaka juga menjadi sorotan utama.
Pusaka-pusaka keraton, seperti keris, tombak, dan benda-benda bersejarah lainnya, dibersihkan dan dirawat dengan ritual khusus.
Ini bukan sekadar membersihkan fisik pusaka, melainkan juga membersihkan energi spiritual yang diyakini terkandung di dalamnya.
Prosesi ini sering kali dilakukan secara terbuka dan menarik perhatian ribuan masyarakat.
Selain di Rembang, beberapa daerah seperti Solo dan Yogyakarta, juga menggelar Kirab Pusaka atau Grebeg Suro.
Pawai budaya ini menampilkan pusaka-pusaka yang diarak keliling kota, diikuti oleh abdi dalem, prajurit, dan masyarakat umum dengan mengenakan pakaian adat.
Kemeriahan ini menjadi tontonan yang memukau, sekaligus sarana untuk melestarikan tradisi nenek moyang.
Tidak hanya upacara, bulan Suro juga dikenal dengan berbagai pantangan atau pamali.
Misalnya, banyak masyarakat yang menghindari mengadakan hajatan besar seperti pernikahan.
Kepercayaan ini didasarkan pada keyakinan bahwa energi bulan Suro lebih cocok untuk refleksi diri daripada perayaan duniawi.
“Masyarakat Jawa itu sangat menghormati siklus alam dan petung (perhitungan) Jawa. Pantangan di bulan Suro bukan untuk menakut-nakuti, melainkan sebagai bentuk penghormatan dan kehati-hatian. Ini adalah cara masyarakat menjaga keseimbangan spiritual dan sosial mereka,” jelas Suwiknyo (65) salah satu penggiat pretung jawa.
Filosofi yang terkandung dalam bulan Suro sangatlah mendalam.
Bulan ini mengajarkan tentang pentingnya keselarasan (harmoni), kesabaran, dan kebersihan hati.
Masyarakat diajak untuk lebih peka terhadap lingkungan sekitar, menghargai warisan leluhur, dan senantiasa berintrospeksi diri, demi menjadi pribadi yang lebih baik di tahun yang baru.
Meskipun zaman terus berubah, semangat menyambut bulan Suro tetap lestari di hati masyarakat Jawa.
Pemerintah daerah dan lembaga kebudayaan aktif mendukung pelestarian tradisi ini melalui berbagai festival dan acara.
Hal ini bertujuan agar generasi muda memahami dan mencintai warisan budaya mereka.
“Kami berharap, dengan momentum bulan Suro ini, masyarakat Indonesia, khususnya Jawa, dapat semakin memperkuat jati diri dan nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang. Ini bukan hanya tentang ritual, tapi tentang membangun karakter, solidaritas, dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Fajar Sasongko, salah pecinta budaya dari Rembang.
Dengan segala kekayaan tradisi dan filosofinya, bulan Suro menjadi pengingat bagi masyarakat Jawa akan pentingnya menjaga keseimbangan antara dunia material dan spiritual.
Ini adalah waktu untuk kembali ke akar, merenung, dan menyiapkan diri menyongsong masa depan dengan hati yang bersih dan jiwa yang tenang.
Editor; Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar