Masih Adakah Pungli di Sekolah Pati? Begini Temuannya 

waktu baca 2 menit
Selasa, 14 Mei 2024 18:46 0 2399 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Warga Pati keluhkan pihak sekolah yang masih suka memalak untuk kepentingan pembayaran buku Lembar Kerja Siswa (LKS).

Warga yang mayoritas memiliki anak sekolah, sering dimintai iuran sampai saat ini.

Menurut temuan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pati dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Teguh Bandang Waluyo, seringkali temuan itu terjadi karena wali murid mengadu kepadanya. Ia secara terang-terangan pun menolak adanya pungutan liar (pungli) berdalih iuran.

“Seharusnya sekolah tidak boleh ada pungli. Ini fakta di lapangan! Saya sering mendapat masukan dari masyarakat masih adanya iuran di sekolah,” ucap pria yang akrab disapa Bandang, Selasa, (14/5/2024).

Dalam pantauannya, sejumlah satuan pendidikan terutama Sekolah Dasar (SD) di Bumi Mina Tani masih melakukan praktik seperti itu, biasanya guna keperluan pengadaan sarana dan prasaran belajar, wisata, dan lain sebagainya.

Padahal selama ini paguyuban wali murid sudah keluar ongkos sukarela untuk iuran paguyuban per bulan, mulai dari Rp20.000 sampai dengan Rp200.000.

“Hingga hari ini masih ada pungli, ini masukan dari masyarakat,” tegas Ketua Fraksi PDIP di DPRD Kabupaten Pati.

Politisi partai berlambang banteng tidak bisa berbuat banyak ketika dimintai iuran tersebut. Sebagai sesama wali murid, ia ingin anaknya bersekolah secara nyaman tanpa ada masalah.

”Saya sebagai orang tua pun tak bisa berbuat banyak. Kalau punya uang ya bayar. Bagaimana kalau orang tua lain yang tidak punya uang, maka kasihan,” ucapnya.

BACA JUGA :  Sebulan, Hacker Lancarkan 2 Juta Serangan ke Website Pemkab Kudus

Menurutnya, wali murid mengharapkan sang buah hati bersekolah dengan fasilitas pendidikan layak tanpa ada pungutan-pungutan tertentu yang membebani kondisi finansial.

“Seharusnya tak ada iuran ini dan itu. Kan sekolahan pemerintah itu gratis,” tegasnya.

Seorang wali murid, Slamet mengatakan jika ingin anaknya bersekolah dengan layak, tetapi ia sering kesusahan jika ada penarikan iuran dari sekolah.

”Seharusnya yang menunjang sarana dan prasarana (sarpras) sekolah kan pemerintah, bukannya orang tua,” katanya.

Ia hanya sebatas tahu bahwa pendidikan di Indonesia gratis. Sehingga orang kalangan menengah ke bawah memperoleh hak yang setara.

”Untuk kalangan orang yang tak mampu tentu di hatinya keberatan. Tapi mau bagaimana lagi, tak bisa berbuat apa-apa,” ujar Slamet sambil meratapi nasib.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini