dirgahayu ri 80

Kupatan di Durenan, Eksistensi Tradisi antara Silaturahmi dan Kuliner Islami 

waktu baca 3 menit
Rabu, 17 Apr 2024 17:45 0 1496 Heru Wijaya

TRENGGALEK – Mondes.co.id | Hari Raya Ketupat atau jamak disebut Kupatan, merupakan salah satu budaya turun temurun yang tetap eksis digelar hingga saat ini oleh warga sekitar wilayah Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek.

Ribuan masyarakat pun antusias datang dari penjuru kawasan Jawa Timur demi bersilaturahmi sekaligus memeriahkan tradisi tersebut.

Selain memang disediakan makanan berupa ketupat gratis di tiap rumah, di antara keunikan lainnya (tradisi Kupatan) terletak pada arak-arakan dua tumpeng raksasa.

Tumpeng-tumpeng itu berisi ketupat lengkap beserta sayurnya yang dibawa keliling sesuai rute, disertai ratusan orang sebagai pengiring.

Diawali dari kediaman Kepala Desa Durenan, para santri dan masyarakat mengarak tumpukan ketupat-ketupat raksasa tersebut menuju ke Pondok Pesantren Babul Ulum.

Sesampai di sana, pengasuh pondok kemudian memberikan doa keselamatan bagi hadirin serta seluruh Bangsa Indonesia.

Dari situ, dibawalah (kedua tumpeng) menuju lapangan dekat pondok untuk diperebutkan oleh siapa saja.

Kepada awak media, Pengasuh Ponpes Babul Ulum, KH Abdul Fattah Mu’in menyebut jika pada awal mulanya acara kupatan itu hanya dilakukan anggota keluarga dalam lingkungan pondok.

Akan tetapi, seiring waktu berjalan sampai kepada generasi keempat, akhirnya bisa meluas dan berkembang di tengah masyarakat hingga kini.

“Tradisi peringatan Hari Raya Ketupat atau Kupatan ini sudah dilakukan sejak 200 tahun lalu. Dimulai dari kakek saya yakni Mbah Mesir,” sebut KH Abdul Fattah Mu’in di area Ponpes Babul Ulum, Durenan, Rabu (17/4/2024).

BACA JUGA :  Bank Jateng Cabang Pati Gelontor Ribuan Bantuan Korban Bencana

Menurut dia, dulu keluarganya memiliki tradisi untuk melakukan puasa Syawal selama enam hari dimulai sejak hari kedua Idulfitri.

Barulah, setelah hari ke-delapan di bulan Syawal, menerima tamu dengan menghidangkan ketupat sebagai salah satu bentuk jamuan.

“Dahulu, keluarga di pondok (keluarga KH Abdul Fattah Mu’in) selalu menjalankan puasa sunah selama enam hari yang dimulai setelah hari kedua Lebaran. Baru di hari ke-tujuh, menerima tamu untuk bersilaturahmi dengan menghidangkan ketupat beserta sayurnya,” jelasnya.

Masih kata Kyai Mu’in sapaan akrabnya, meski banyak daerah lain yang juga merayakan Kupatan, namun ada beberapa hal mendasar sebagai pembeda. Yakni, adanya budaya silaturahmi atau sowan kepada kyai dan antar warga di lingkungan Durenan.

“Rata-rata di daerah lain, Kupatan lebih identik dengan berbagai hiburan sebagai penarik pengunjung agar mau datang. Tapi kalau di sini (daerah Durenan) walau tidak ada hiburan macam-macam tetap ramai yang bersilaturahmi,” pungkas Kyai Mu’in.

Sebagai informasi, bahwa Tradisi Hari Raya Ketupat atau Kupatan yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat di Jawa pada umumnya, merupakan salah satu bentuk representasi melestarikan estafet dakwah.

Yaitu, usaha yang telah dilakukan oleh para ulama terdahulu dalam menyebarkan agama Islam di Jawa, dengan tetap menggunakan budaya lokal agar mudah diterima masyarakat.

Seiring perkembangan zaman, tradisi ini pun (Kupatan) semakin meluas hingga ke beberapa wilayah di Jawa Timur. Salah satunya di kecamatan Durenan, kabupaten Trenggalek.

Salah satu perintisnya adalah Kyai Abdul Masyir atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Mesir. Penyebutan nama Mbah Mesir dikarenakan lidah orang Jawa yang selalu melafalkan huruf-huruf asli (Arab) dengan vokal lidah Jawa, sehingga nama Abdul Masyir berubah menjadi Mbah Mesir.

BACA JUGA :  Kawal Unjuk Rasa AMT, Polres Trenggalek Gunakan Pendekatan Preventif dan Humanis

Setelah Mbah Mesir wafat, tradisi ini tetap dihidupkan oleh tokoh-tokoh penerusnya, antara lain: KH. Imam Mahyin, KH. Ahmad Mu’in dan KH. Abdul Fattah Mu’in. Kini, tradisi kupatan terus dipraktikkan oleh masyarakat Durenan secara alami, tanpa adanya intruksi dari seorang kiai.

Saat ini, tradisi Kupatan tidak hanya dipraktikkan oleh masyarakat Durenan, tetapi sudah meluas sampai ke berbagai wilayah di Trenggalek.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini