PATI – Mondes.co.id | Di Kecamatan Tayu terdapat sebuah situs bersejarah yang masih menyimpan banyak misteri untuk dipahami oleh khalayak.
Misteri itu ada di Dukuh Kiringan, Desa Pundenrejo, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati. Ada apa di sana?
Di Pati bagian utara terdapat sebuah makam yang familiar disebut Makam Ki Ageng Kiringan.
Makam tersebut menjadi tempat disemayamkannya sosok waliyullah bernama Syekh Abdullah Asyiq, yang mana sosoknya sangat tersohor dan dihormati masyarakat luas.
“Makam itu dikenal sebagai Makam Ki Ageng Kiringan, nama lain Abdullah Asyiq, dia merupakan tokoh keturunan Timur Tengah, Yaman. Marga itu pun sudah tidak ada penerusnya lagi,” ucap warga setempat bernama Dain saat diwawancarai Mondes.co.id, Minggu (19/5/2024).
Kompleks makam yang berlokasi berdekatan dengan Masjid Al Asyiq itu, terdapat beberapa tokoh lainnya, antara lain Makam Siti Nasiroh (istri Ki Ageng Kiringan) dan Makam Abdurrahman (murid Ki Ageng Kiringan).
Sejumlah situs peninggalan terdahulu sudah hilang lantaran terjadi renovasi, ornamen-ornamen diuruk, lantaran warga setempat awalnya tak mengerti bahwa itu peninggalan bersejarah dari tokoh besar.
Masyarakat setempat usai melangsungkan ibadah kerap berziarah ke makam tersebut. Bahkan pengunjung makam juga datang dari luar daerah.
“Makam yang dibuka untuk peziarah ada makam istrinya, yang konon pernah menjadi pengasuh Saridin (Syekh Jangkung), Makam Mbah Abdurrahman sebagai sang murid, dan Makam Ki Ageng Kiringan itu sendiri. Pada akhir 1980-an terjadi pembongkaran makam, banyak peninggalan dikubur padahal itu kompleks pemakaman,” ucap pria yang akrab disapa Mbah Dain.
Selaku juru kunci makam, Mbah Dain kecewa dengan kejadian pada puluhan tahun silam ketika dilakukan pembongkaran.
Sejumlah nisan berupa karang alami tertutup lantaran diuruk, kemudian gapura kompleks makam diratakan. Kini belum ada pembangunan lagi.
Menurut informasi yang disampaikan, Ki Ageng Kiringan wafat pada 1304. Namun, sampai sekarang silsilah sang mendiang masih menyisakan misteri. Pasalnya, di tempat itu tidak ada keterangan garis keturunan sang figur.
Jejak peninggalan Ki Ageng Kiringan yang tersisa berupa batu nisan. Di nisan tersebut tertulis informasi bertuliskan dengan huruf Arab gundul.
Lalu ditemukan simbol matahari, yang kerap dilambangkan sebagai tokoh vital di era Kerajaan Mataram.
“Uniknya tidak ada silsilah makam. Saya sempat mencari tahu kemana-mana sampai ke Pasuruan, di salah satu pondok ada yang mengetahui tentang Abdullah Asyiq dan memegang silsilah. Lalu membandingkan adanya lambing matahari di nisan Ki Ageng Kiringan dengan simbol yang sama dengan Mataram. Bisa dibilang yang punya sematan tanda itu adalah panglima perang, ada yang menyebut hakim,” tuturnya.
Macam-macam kepentingan dilakukan oleh peziarah, ia menyebut berbagai kalangan ada yang benar-benar mendoakan sang wali, ada yang mencari berkah, ada yang memohon pangkat maupun jabatan, ada yang meminta keharmonisan keluarga, bahkan permasalahan gaib juga berlangsung di makam bersejarah itu.
“Ada yang pure ziarah maupun ada yang cari barokah. Kadang seringnya didatangi orang yang sedang ada masalah duniawi seperti masalah keluarga, masalah pangkat, masalah rejeki. Namun, ada juga yang berkaitan dengan hal gaib, seperti mengadu sumpah maupun mencari gaman (senjata gaib),” jelasnya.
“Biasanya jelang Pemilu, Pilkada, Pilkades, para petinggi atau Caleg (calon anggota legistlatif) mendatangi makam ini. Pengusaha-pengusaha untuk melanggengkan hartanya. Kadang orang militer juga datang,” sambung Mbah Dain.
Mbah Dain mengaku jika sudah menjalankan tugasnya selama 5 tahun, Sebelumnya sang ayah yang menjadi juru kunci.
Setelah sang ayah wafat, ia yang pegang amanah ini. Dirinya kerap menjadi penjaga, petugas kebersihan kompleks makam, serta menjadi pemandu spiritual di lokasi tersebut.
“Baru lima tahun meneruskan abah melanjutkan profesi ini. Kadang yang pengen belum tentu bisa. Saya padahal rumangsa tidak bisa, tapi saya merasa saya yang ditakdirkan memegang tanggung jawab ini. Karena barang kuno peninggalan sudah ditimbun, maka perawatannya ya cukup membersihkan saja. Walaupun terkadang ada orang yang mencari saya untuk membantu memimpin doa,” ujarnya.
Sebagai informasi, setiap 7 Dzulhijjah diperingati Haul Besar Mbah Kiringan. Selama tiga hari tiga malam, warga mengadakan pengajian, rebana, lelang kelambu, dan karnaval.
Selain itu, berbagai komunitas dan organisasi kemasyarakatan kerap mendatangi makam menggelar acara spiritual.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar