SEMARANG – Mondes.co.id | Pada aksi demo yang dilakukan masyarakat Kota Semarang dan sekitarnya di depan Kantor Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah beberapa waktu lalu, terjadilah chaos dari peserta aksi bersama dengan aparat yang berjaga di lokasi.
Bukan langkah preventif, namun upaya menyuarakan aspirasi dan pendapat itu ditangkal dengan tindakan represifitas oleh aparat kepolisian yang berjaga.
Bahkan, terjadi tindakan brutal dari kepolisian yang menyerang kerumunan massa aksi yang demo menuntut penolakan Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024.
Menurut kesaksian peserta aksi, Dhika yang ikut menyuarakan pendapat pada Kamis (22/8/2024), mengatakan bahwa beberapa tindakan sporadis dilakukan oleh polisi untuk membungkam demonstrasi publik.
Perlakuan itu antara lain pemukulan massa aksi, pengejaran mahasiswa, penembakan gas air mata, dan penyemprotan water canon ke arah kerumunan.
Tindakan tersebut sangat disayangkan, apalagi langkah tersebut merugikan masyarakat umum.
“Ada beberapa tindakan represifitas aparat yang dilakukan kepada aksi massa, antara lain penembakan gas air mata, pemukulan, pengejaran, dan penyemprotan water canon ke arah massa aksi. Penembakan gas air mata sangat sporadis, sampai mengenai masyarakat di kawasan Gubernuran (Kantor Gubernur) dan Patung Kuda Undip Peleburan,” sebut pria yang biasa dipanggil Dhika kepada Mondes.co.id, Senin (26/8/2024).
Diketahui, aksi damai tersebut tampak berubah menjadi kekacauan usai gesekan antar kubu, yakni mahasiswa dengan kepolisian.
Ungkapnya, padahal mahasiswa hanya menyampaikan pendapat di muka umum tanpa ada unsur anarkis. Akan tetapi, kepolisian justru yang memantik tindak anarkis di lapangan.
Menurut kesaksiannya, titik ricuhnya aksi berada di Patung Diponegoro Undip-Peleburan dan Taman Indonesia Kaya.
Tindak brutal itu bahkan sampai menyasar ke beberapa fasilitas umum, sehingga merugikan masyarakat yang tak berdosa.
Saat kepolisian memiliki tanggung jawab mengayomi, justru mereka malah melakukan upaya yang memberi dampak negatif ke masyarakat.
“Gas air mata ditembakkan secara sporadis. Titik-titik chaos di patung kuda, di mana polisi mengejar massa aksi yang berusaha menghindar gas air mata, fatalnya polisi tetap menembakkan dan mengejar. Kemudian, tempat lainnya yang chaos Taman Indonesia Kaya, pihak kepolisian menembakkan gas air mata dan water canon ke massa aksi,” ucapnya saat diwawancarai.
Menurut pendataan tim aksi, ada 18 orang yang dilarikan ke rumah sakit karena dampak represifitas aparat, mayoritas dari mereka terkena sesak nafas, asma, dan gangguan pernafasan lainnya akibat penembakan gas air mata.
Ia menegaskan, atas tindakan tersebut, kepolisian tidak ada yang meminta maaf atas ulah brutal ke kerumunan massa.
“Gas air mata sampai masuk ke gedung-gedung sekolahan, itu menjadi tindakan yang tidak boleh dilakukan aparat kepada aksi massa. Ada 18 orang dilarikan ke rumah sakit karena asma, sesak nafas bahkan sampai parah dan tidak bisa bernafas. Atas kekerasan yang berniat membubarkan demonstran, polisi tak ada upaya apapun menyikapi tindak represif tersebut,” ungkap salah seorang aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang.
Ia menyatakan bahwa langkah aparat malah menghalangi kebebasan berekspresi maupun menyampaikan pendapat di muka umum ketika rezim telag menyalahi demokrasi.
Ia menambahkan, hadirnya mahasiswa aksi turun ke jalan untuk mengingatkan pemangku kebijakan agar menegakkan konstitusi, justru malah dilawan.
“Itu menghalangi dan membatasi kebebasan berekspresi, padahal negara hari ini sudah berbuat seenaknya dengan menyalahi demokrasi, tetapi justru mahasiswa ingin menegakkan konstitusi dilawan balik aparat dengan cara-cara kekerasan. Massa aksi menuntut pemerintah dan DPR tidak merevisi UU Pilkada yang menciderai nilai-nilai demokrasi,” tegasnya.
Sebagai informasi, aksi diikuti oleh ribuan masyarakat yang didominasi mahasiswa. Mereka berasal dari kampus-kampus di Kota Semarang dan sekitarnya.
Tuntutan mereka menentang upaya rezim yang mengangkangi kostitusi terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60 dan putusan MK Nomor 70.
Putusan MK Nomor 60 menyatakan partai politik non-parlemen bisa mencalonkan pasangan calon.
Putusan MK Nomor 70 menyatakan syarat batas usia calon kepala daerah harus terpenuhi saat penetapan pasangan calon peserta pilkada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kawan-kawan di Semarang melakukan perlawanan terhadap tindakan penyelenggaran negara yang culas mengangkangi konstitusi. Kita tak hanya fokus ada RUU Pilkada, namun kita harus ingat, ada nawa dosa dua dekade kepemipinan Jokowi yang merampas hak kita. Ke depan kami menyampaikan tuntutan itu,” pungkasnya.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar