PATI – Mondes.co.id | Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) merupakan sebuah organisasi yang aktif dan vokal menyuarakan kelestarian Pegunungan Kendeng agar selamat dari eksploitasi lingkungan. Organisasi ini diketuai oleh Gunretno asal Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah.
Misi utama JMPPK adalah melepaskan Pegunungan Kendeng dari ancaman lingkungan, seperti pertambangan maupun penggundulan hutan secara liar.
Pegunungan Kendeng sendiri merupakan pegunungan yang membentang dari Kabupaten Grobogan, Pati, Blora, dan Rembang. Organisasi ini berdiri sejak 2008.
Pegunungan Kendeng menjadi Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang merupakan area respan air terbesar sehingga menopang kehidupan masyarakat di wilayah tersebut.
Menurut Gunretno apabila pegunungan kapur utara ini dirusak, maka KBAK yang berada di hulu otomatis akan rusak yang berakibat pada masalah ekologi di hilir.
“Tujuan utama kami adalah menyelematkan Kendeng dari segala ancaman yang merusak. Berbagai pertambangan dan kerusakan yang dibuat oleh korporasi menyebabkan bahaya itu mengancam petani dan warga sekitar. Maka dari itu kami membentuk JMPPK sebagai aliansi melindungi Kendeng,” ungkap Gunretno kepada Mondes.co.id, Selasa, 22 Agustus 2023.
Organisasi JMPPK terbentuk atas hati masyarakat yang tergerak karena keresahan bersama dalam menyikapi kerusakan Pegunungan Kendeng.
Itulah mengapa organisasi yang berprinsip kebersamaan dalam menentang penindasan ini memiliki anggota di beberapa wilayah, seperti Kudus, Grobogan, Blora, Rembang, dan Pati itu sendiri.
“Kami terbentuk dari usaha sadar kami, karena latar belakang mayoritas petani maka kami resah karena masalah-masalah petani sering timbul,” ujarnya.
Organisasi JMPPK sendiri bukan organisasi sembarangan. JMPPK memiliki kisah sejarah panjang tentang perjuangan para petani di wilayah Kabupaten Pati dengan skala besar. Gunretno menceritakan, pada mulanya perjuangan cikal bakal JMPPK dari Karya Tani Maju yang ia prakarsai bersama rekan sesama petani.
“Dulu saya dan rekan-rekan petani berorganisasi sudah lama. Tidak ujuk-ujuk JMPPK muncul begitu saja, ada sejarahnya. Mulanya Karya Tani Maju,” ujarnya.
Pada era sebelum milennium, berbagai macam polemik lingkungan muncul di Kecamatan Sukolilo. Saat itu, terjadi kekeringan di beberapa desa yang disebabkan karena sumbatan sungai.
Lalu Karya Tani Maju bergerak membuat spanduk larangan melakukan branjang dan membuang sampah di sungai usai melakukan audiensi bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pati.
Kesadaran bersama pun terbangun untuk membela hak-hak dan kemaslahatan hidup petani.
“Kami waktu itu menentang aktivitas yang meghambat aliran air dari sungai ke sawah oleh adanya ulah-ulah oknum. Sampai kalau anda lihat ada spanduk-spanduk itu bikinan kami,” ungkapnya.
Lebih lanjut, dua tahun berselang Karya Tani Maju bertansformasi menjadi Serikat Petani Pati (SPP). Diketahui, SPP berangkat dari keresahan petani yang mengalami kesulitan mengakses pupuk, tingginya Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk, dan rendahnya harga gabah.
“Setelah itu, kami membentuk SPP, saya sebagai bendahara. Kami menyuarakan kelangkaan pupuk dan menuntut adanya HET yang pro petani,” ungkapnya.
Pada 2002 mereka melakukan aksi besar menuntut agar anjloknya harga panen teratasi. Ia mengonsolidasikan petani di 12 kecamatan untuk kompak mengatasi permasalahan tersebut hingga berhasil.
Atas kemandirian organisasi yang dipelopori petani itulah mereka melanjutkan misi besar membela Pegunungan Kendeng dari berbagai pengrusakan, lalu lahirlah JMPPK.
“Kami melakukan aksi besar mengatasi turunnya harga gabah di musim penghujan pada waktu itu. Aksinya besar, bahkan sampai Pendopo Kantor Bupati kami duduki untuk kami gunakan sebagai gudang gabah. Kemudian atas kekompakan teman-teman aksi kami berhasil,” imbuhnya.
Di 2010, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo memberikan izin pertambangan ke beberapa perusahaan, mulai dari PT Panda Group di Grobogan, PT Semen Gresik di Pati, dan aktivitas pertambangan di Blora.
Kemudian, Gunretno khawatir atas adanya langkah tersebut karena berpotensi merusak KBAK. Bersama dengan para akademisi dan aktivis lingkungan, ia mengkaji adanya rencana tersebut hingga melakukan berbagai aksi besar penolakan pabrik semen, utamanya di Kecamatan Sukolilo.
Selain itu, pihaknya kerap melakukan komunikasi dengan pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membenturkan rencana pembangunan pabrik semen dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Alhasil PT Semen Gresik pun berhasil mereka usir dari Sukolilo.
“Kami konsisten melakukan aksi-aksi penolakan pabrik semen, utamanya di Pati. Selain itu, pihaknya kerap melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat. Akhirnya kami menang di Sukolilo,” jelasnya.
Selanjutnya, usai prahara dengan PT Semen Gresik, PT Indocement pun datang untuk melakukan aktivitas pertambangan di Kayen dan Tambakromo. Kemudian, berlanjut pada masa Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengizinkan eksplorasi pabrik semen di Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih di Rembang.
“Fungsi geografis Kendeng tak bisa dipisahkan dengan kami, makanya kami tak ingin hutan, gunung kami dirusak. Kalau sudah ada aktivitas tambang dan mengeruk material dari sana, maka alam kita semua akan rusak secara bertahap,” ungkapnya.
Selain berjuang dari bawah, Gunretno dan kawan-kawan juga berjuang di jalur hukum. Pihaknya memerangi eksploitasi lingkungan dengan terus mengantisipasi adanya revisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang berpeluang menjadi celah masuknya aktivitas pertambangan.
Bahkan pihaknya memenangi gugatan di Mahkamah Agung (MA) saat melawan aktivitas pertambangan PT Semen Gresik di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Namun, saat itu pihaknya dipermainkan oleh kepala daerah terkait sehingga aktivitas pertambangan masih berjalan.
Tidak hanya itu, JMPPK juga menyuarakan masalah pengrusakan Pegunungan Kendeng yang sedang mengancam Kecamatan Tambakromo di forum internasional.
Gunretno mampu bicara banyak melawan PT Indocement yang saham terbesarnya dimiliki oleh PT Heidelberg Jerman di forum pertemuan para pemegang saham.
“Dulu Sukolilo jadi Kelas 2, sedangkan Tambakromo dan Kayen jadi Kelas 1. Kelas 1 tidak boleh ditambang, sedangkan Kelas 2 boleh ditambang asalkan melakukan pemeliharaan lingkungan. Kemudian kami dari Sukolilo tak ingin kawasan kami ditambang, maka kami melawan persuhaan semen hingga menang. Anehnya, kemudian Tambakromo berubah menjadi K1,” tuturnya
Petisi penolakan pembangunan pabrik yang akan bercokol di Pati yang disuarakannya mendapat 200 ribu tandatangan dari masyarakat internasional. Apalagi proses izin pertambangan sejak 8 Desember 2014 sampai 2017 tidak diperpanjang.
“Pada 5 Mei 2023, JMPPK diberikan waktu 10 menit untuk bicara di forum intrnasional. Saat itu saya mengecam adanya usaha PT Heidelberg yang akan melanjutkan penambangan. Akhirnya petisi saya ditandangani 200.000 orang dari kalangan mahasiswa, NJO, dan para akademisi,” ungkapnya.
Di sisi lain, kendala demi kendala ia temui kala membela Pegunungan Kendeng. Bahkan dirinya kerap difitnah oleh sejumlah pihak sebagai provokator.
Bahkan upayanya mengajak warga menolak aktivitas pertambangan dianggap hoaks belaka, hingga sampai perusahaan semen sudah melakukan aktivitas pertambangan di Kecamatan Tambakromo yang memakan 500 hektar area hutan.
Kepala desa, perangkat desa dan warga masih belum sadar jika lingkungannya dieksploitasi dan malah sibuk menebar kebencian pada Gunretno.
“Teror, fitnah dan ancaman selalu datang. Bahkan saya dituduh provokator. Usaha saya memberikan edukasi ke mereka dianggap omong kosong. Mereka ada yang nulis nama saya di setiap sudut dengan kata-kata negatif. Kalian bisa melihatnya di Tambakromo,” ujar kepada awak media.
Padahal upaya Gunretno untuk meyakinkan masyarakat agar tidak mudah dikecoh oleh pihak perusahaan, akan tetapi masyarakat di 14 desa yang akan menjadi kawasan terdampak pertambangan malah mengecamnya. Hingga suatu ketika Gunretno diminta datang ke seminar yang digelar pihak perusahaan semen.
Dirinya menagih bukti adanya perizinan resmi dari pemerintah atas upaya perusahaan mengeksploitasi Pegunungan Kendeng di hadapan 14 kepala desa yang mendukung pembangunan pabrik semen.
Usai izin disampaikan, sontak membuat kaget para kepala desa. Alhasil kepala desa dan masyarakat di Kecamatan Tambakromo yang awalnya mengecam Gunretno memilih mendukung gerakan Gunretno di JMPPK. Mereka sadar telah dikelabuhi perusahaan semen tersebut.
“Saat itu diundang, saya datang menjadi narasumber untuk memastikan bahwa pabrik semen benar dibangun di Tambakromo dan Kayen. Alhasil para kades pun berbelok mendukung saya,” ungkapnya.
Menurut kabar yang beredar, prahara pabrik semen di Pati mulai menemukan titik terang usai Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo akan menghentikan produksi semen. Namun, langkah itu akan terus dikawal oleh JMPPK hingga pabrik semen benar-benar cabut dari Pegunungan Kendeng.
Tak hanya aktif menyuarakan penolakan pabrik semen saja. JMPPK tak pernah absen dalam melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian Pegunungan Kendeng dan sekitarnya.
Bahkan JMPPK meraih penghargaan dari organisasi internasional karena telah konsisten berjuang tanpa kekerasan terhadap eksploitasi lingkungan. Dengan kajian dan kekayaan data yang dikantongi, JMPPK sukses jadi magnet pergerakan internasional.
Editor: Harold Ahmad
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar