PATI – Mondes.co.id | Siapa sangka, ladang pertanian di hilir pegunungan, tepatnya di Kecamatan Tambakromo dapat subur lantaran ter-supplay pengairan dari sebuah mata air di puncak Pegunungan Kendeng.
Fenomena ini terjadi berkat tangan dingin dari masyarakat Desa Karangawen, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati yang mampu menyulap suatu sumber mata air, bernama Kedung Parang menjadi sumber irigasi areal ladang.
Berada tepat di antara Desa Karangawen, Kecamatan Tambakromo dan Desa Brati, Kecamatan Kayen, ada sebuah jalur irigasi yang cukup menyita perhatian. Saluran irigasi itu dinamakan Jati Kamulyan, yang berarti ‘Kemuliaan Sejati’.
Jalur Irigasi Jati Kamulyan sendiri bersumber dari Kedung Parang, menyambung Kedung Jurug sampai ke Jembatan Leri. Terlihat parit itu memanjang membelah tebing yang berada di ketinggian 45 meter di atas permukaan tanah. Irigasi Jati Kamulyan memiliki panjang 600 meter yang disalurkan untuk mengairi ladang di Desa Karangawen sampai sebagian Desa Mojomulyo.
“Ini saluran Jati Kamulyan, artinya kemuliaan yang sejati. Kami berharap adanya aliran irigasi ini masyarakat bisa mulia. Ini (irigasi) kita gali dari bawah hingga membelah tebing gunung sampai ketinggian 35 sampai 45 meter. Dari sungai, kami gali manual dengan ganco, linggis selama dua tahun lamanya. Saluran ini sepanjang 600 meter,” ucap Kepala Desa Karangawen, Sutiyono ketika meninjau saluran irigasi tersebut, Sabtu, 6 Januari 2024.
Saluran irigasi tersebut kedalamannya 1,5 meter dengan lebar 30 sentimeter. Sebagai pelopor pembangunan irigasi, Sutiyono pada 2018 mengajak warga giat bersama membangun saluran dengan susah payah.
Menurut ceritanya, ia bersama warga menggali suatu tebing amat tinggi di pegunungan tersebut yang berada di dalam hutan pinggir desa yang berlanjut hingga membuat terowongan.
“Pada awal saya menjabat 2015, saya survei area situ. Di 2017 kami mengambil keputusan bersama, dan 2018 kami eksekusi dari bawah. Ada tebing batu tinggi kami naiki dengan alat bantuan, sampai bikin terowongan, sehari hanya dapat setengah meter sehingga terlalu berat. Kami pun sempat menghentikan pada 2019 karena terhalang oleh tingginya tebing dan dua titik jurang,” ujarnya.
Selain hambatan teknis, rasa penasaran masyarakat menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan olehnya. Publik mempertanyakan langkah yang diambil Sutiyono selaku Kepala Desa setempat.
Warga yang kontra pun melontarkan cemoohan dan mengutuk tindakannya yang dianggap gila. Selain datang dari warga, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati turut menyarankan penghentian penggalian tebing yang dilakukan.
“Kami dapat cemooh, sampai disumpahin yang nggak-nggak. Pihak Pemkab Pati menyarankan tidak dilanjutkan karena itu batuan kapur, ada dari LSM dan wartawan mempertanyakan upaya itu. Namun bagi saya yang paling berat dari masyarakat. Apalagi saat itu tidak ada dana yang dipakai, karena harus ngalah untuk mengalokasikan dana desa untuk kepentingan masyarakat dulu, meski saluran irigasi sudah menjadi cita-citanya ketika memimpin desa,” ucap Sutiyono saat diwawancarai Mondes.co.id di kediamannya.
Kemudian pada 2020, Sutiyono tetap melanjutkan pembangunan itu sampai selesai dengan mampu menuntaskan 200 meter. Di saat pembangunan sudah finished, terjadi penurunan tebing 30 sentimeter.
Pihaknya kemudian berkonsultasi dengan sejumlah ahli untuk menemukan solusi. Setelah itu, dipotonglah tebing dengan semampunya. Saluran tersebut pun mulai berjalan optimal dan kebermanfaatannya dituai oleh petani pada 2021.
“Di awal 2020 ada tebing mengalami longsor hingga 30 sentimeter padahal pekerjaan sudah jadi. Tinggal melewati jembatan, tinggal aplikasi, ternyata ada penurunan struktur tebing. Kami konsultasikan ke orang Teknik Sipil, lalu salah satu caranya kami terpaksa harus memotong tebing tetapi dengan kemampuan terbatas. Akhirnya ngalir dan warga saya ajak melakukan syukuran,” ungkapnya.
Menurutnya, pembangunan tersebut sempat membuat kesalahpahaman di tengah masyarakat. Awalnya Pemerintah Desa (Pemdes) Karangawen mendapat anggaran Rp1,6 miliar, tetapi seluruh dana tidak digelontorkan ke pembangunan saluran irigasi. Sutiyono memperlihatkan dana yang digelontorkan untuk menyelesaikan pembangunan Irigasi Jati Kamulyan senilai Rp333 juta.
“Irigasi ini menelan anggaran Rp333 juta, tetapi masyarakat mikirnya seluruh dana desa untuk pembangunan irigasi, padahal tidak. Dikiranya menghabiskan miliaran, mereka mengira semua ngalir ke irigasi. Tapi yang terpenting sekarang semua terbayarkan,” bebernya.
Ia menyebut, sebanyak 35 personel warga berjasa dalam membantu mengairi kawasan pertanian dan perkebunan desanya dan desa tetangga. Beruntung dalam pengerjaan selama dua tahun itu tidak memakan korban jiwa, padahal dengan alat sederhana.
Selain untuk mengairi ladang di hilir, irigasi tersebut juga berguna untuk mencukupi kebutuhan tanaman di wilayah Pegunungan Kendeng. Ia memasangi pipa dan tandon air di saluran irigasi yang kemudian mengalirkan air ke seluruh ladang yang berlokasi di kawasan hulu. Dengan menggantung selang dan pipa yang diikat besi, pepohonan dapat teraliri dengan optimal.
“Tidak usah pakai mesin, kami buat tandon untuk mengaliri pohon-pohon yang ditanam warga, kita edukasi untuk selang digantung dan diikat besi, untuk dialirkan ke pohon langkah ini sangat efektif,” katanya.
Kendala yang biasanya terjadi di saluran diakuinya adalah mampet dan terjadinya longsor di hulu. Hal tersebut terkadang mengganggu proses pengairan ladang petani yang sebagian besar menanam ketela, jagung, dan padi.
Atas usaha yang dilakukan olehnya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Pati mengusulkan sosok Sutiyono untuk meraih penghargaan Kalpataru di tahun 2023. Namun, lantaran proses pengerjaannya harus memotong titik-titik tebing di pegunungan, maka penganugerahan itu tidak ia dapatkan.
Kendati demikian, usahanya tetap membawa inspirasi bagi warga. Berkat upayanya yang berani mendobrak sejarah, Sutiyono dan warga Desa Karangawen menghidupkan urat nadi pertanian masyarakat.
Redaktur: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar