Cuaca Pengaruhi Produktivitas Garam Pati, Melimpah Saat Terik Namun Drop Kala Hujan

waktu baca 3 menit
Kamis, 9 Jan 2025 17:53 0 280 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Keadaan cuaca menjadi faktor utama yang mempengaruhi kondisi produksi garam di Kabupaten Pati, biasanya ketika musim penghujan tiba, produktivitas garam menurun dibandingkan kala kemarau melanda.

Masa-masa November, Desember, Januari, Februari, Maret, dan April menjadi momentum petambak garam minim melakukan usaha pengolahan garam yang tersebar di kawasan Kecamatan Batangan, Juwana, Wedarijaksa, hingga Trangkil.

Menurut Pembina Mutu Hasil Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Pati, Ari Wibowo, ketika curah hujan tinggi di akhir tahun dan awal tahun, maka petambak berhenti produksi garam.

Mengingat, mengolah garam di Indonesia tak lepas dari pencaran sinar matahari, sehingga jika panasnya terik, maka hasil produksi garam akan maksimal dibandingkan ketika kemarau basah atau musim penghujan.

“Pada musim kemarau Mei persiapan, Juni sampai Agustus efektif empat bulan produksi garam, habis itu sudah tidak ada produksi lagi (sejak musim hujan). November awal masih ada produksi, lalu minggu kedua mulai berkurang karena lahannya ndak bisa. Kalau matahari benter (terik) garamnya banyak, beda ketika kemarau basah, produksi tidak maksimal,” jelasnya kepada Mondes.co.id, Kamis, 9 Januari 2025.

Sebagai informasi, garam akan maksimal jika cuaca, sarana prasarana, bahan baku, dan tenaganya berjalan beriringan.

Namun, faktor cuaca menjadi variabel terpenting dari adanya hasil produksi garam di Bimi Mina Tani.

Sejak Mei sampai November 2024, total produksi garam di Kabupaten Pati mencapai 324.036,10 ton, dengan rincian tertinggi pada Oktober yang melejit 85.825,46 ton.

BACA JUGA :  Banjir Juwana Tak Kunjung Surut, Seribuan Logistik Dipasok

Sementara, produksi terendah terjadi pada Mei yakni 250,72 ton karena bulan pertama olah lahan.

Sedangkan pada Desember sampai dengan April, petambak tak melakukan aktivitas produksi garam.

“Butuh proses produksi, tidak serta merta pas musim kemarau langsung jadi garam, karena tambak yang jadi tempat olahan garam. Saat musim penghujan jadi tambak budi daya ikan. Maka dari itu, lahan perlu diubah dulu untuk pengolahan garam harus ada meja garam, ulir, air dan lain-lain,” papar Ari saat diwawancarai.

Diketahui, mayoritas lahan pengolahan garam di Kabupaten Pati merupakan lahan yang sama dengan budi daya ikan.

Apabila musim penghujan tiba, lahan dipakai untuk tambak ikan, begitu musim kemarau datang, maka petambak mengolah lahan untuk persiapan budi daya garam.

Ketika ditanya soal target hasil produksi garam di Kabupaten Pati, dirinya menyampaikan perlu kajian matang, termasuk prediksi cuaca yang dilakukan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Pihaknya tak bisa mamatok target secara dini tanpa informasi prakiraan cuaca pada proyeksi setahun ke depan.

“Target kita mengacu pada BMKG, prediksi ke depan seperti apa kita tak berani menarget untuk menjawab instruksi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kalau tahun kemarin (2023) 200, kita lumayan di tahun 2024 target kita 250,” sebut Ari.

“Kalau kemarau panjang berani masang target. Kita di tahun kemarin (2024) capai hampir 325 ton, sehingga target berhasil terlampaui. Dan jangan kaget ketika musim hujan terjadi fluktuasi yang drop, kadang hanya 55 ribu kadang 70 ribu ton saja,” imbuhnya.

Ia mengatakan, proses produksi garam bisa dilakukan dengan waktu minimal 10 hari demi hasilkan kualitas bermutu.

Namun, banyak petambak yang ingin segera memanen garamnya supaya cepat laku, sehingga kurang dari 10 hari, mereka sudah menyelesaikan masa pengolahannya walau kualitas kurang memadai.

BACA JUGA :  Pelayanan Prima PDAM Pati Saat Bencana Melanda

“7 sampai 10 hari merupakan waktu yang bagus untuk produksi, tetapi karena mereka (petambak) berpikir urusan perut dan kebutuhan rumah tangga. Maka, baru 5 sampai 6 hari sudah dipanen, yang penting dapat duit.

Proses produksi garam membutuhkan bahan baku utama, yakni air yang cukup. Sehingga pasokan air itulah yang menjadi variabel kedua setelah cuaca, guna menyokong hasil panen garam yang bagus.

“Selama bahan bakunya air tercukupi akan baik (berkualitas), sangat diharapkan harganya pun semakin bagus. Petambak sudah berpikir maju untuk mengejar kualitas, kalau kondisi garam bagus tetapi harga biasa ya percuma,” ujarnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini