Baratan, Tradisi Masyarakat Dalam Tembok Benteng Kerajaan Kalinyamat

waktu baca 4 menit
Minggu, 3 Mar 2024 14:32 0 1010 Dian A.

JEPARA – Mondes.co.id | Baratan merupakan salah satu tradisi masyarakat di Kecamatan Kalinyamatan, untuk menyambut datangnya bulan Ramadan.

Biasanya tradisi pesta baratan ini dilaksanakan setiap tanggal 15 Sya’ban (Kalender Hijriyah) atau 15 ruwah (Kalender Jawa) yang bertepatan dengan malam Nisfu Sya’ban. Tradisi ini dirayakan oleh sejumlah desa di Kecamatan Kalinyamatan.

“Untuk Desa Robayan dilaksanakan 15 Sya’ban, untuk Desa Kriyan baru semalem,” ujar Nana, warga Robayan Minggu 3 Maret 2024.

Tradisi baratan ini berasal dari sebuah kata Bahasa Arab yaitu ‘baraah’ yang berarti keselamatan atau ‘barakah’ yang berarti keberkahan.

Setelah membaca surat Yasin, masyarakat makan (bancaan) nasi puli. Puli sendiri berasal dari bahasa Arab ‘afwu lii’, yang berarti ‘maafkanlah aku’. Sehingga dimaksudkan dengan memakan nasi puli ini sebagai simbol untuk saling memaafkan.

Puli sendiri terbuat dari beras ketan yang ditumbuk halus dan dimakan dengan kelapa. Saat disantap bersama, menambah kegembiraan dan kekeluargaan antar warga.

Zaman dulu, setiap 15 hari sebelum Ramadan (Nisfu Sya’ban), disambut warga Kalinyamatan dengan membersihkan serta menghias masjid atau musala.

Mereka juga menyalakan penerangan lilin atau obor maupun impes di depan rumah, dan anak-anak muda membawa obor mengelilingi kampung.

Bagi masyarakat, Nisfu Sya’ban merupakan penutupan buku catatan amal bagi umat Islam. Baratan juga bisa diartikan baroatan (Bahasa Arab), yang berarti lembaran. Artinya, tanggal 15 Sya’ban merupakan pergantian lembaran catatan amal perbuatan manusia menjelang bulan Ramadan.

Maka, dengan dinyalakan obor dan membawa obor keliling kampung, harapannya catatan amal warga seluruh kampung atau Desa menjadi terang atau baik.

BACA JUGA :  Buka Luwur Makam Ratu Kalinyamat Pikat Ribuan Wisatawan

Dalam perkembangannya kemudian, anak-anak berjalan mengelilingi kampung dengan membawa impes atau obor.

Impes atau lampion ini adalah sejenis lentera yang biasanya terbuat dari kertas dengan lilin di dalamnya. Lampion yang lebih rumit dapat terbuat dari bambu dibalut dengan kertas tebal yang biasanya berwarna merah. Bagi masyarakat Jepara, lampion ini dikenal dengan nama impes.

Tradisi ini berkembang di wilayah Desa Robayan, Kriyan, dan Bakalan yang merupakan wilayah Kecamatan Kalinyamatan. Konon, tiga Desa ini terdapat di dalam tempok benteng kerajaan Kalinyamat.

Mengutip dari Jurnal Intervensi Sosial (JINS), tentang Pelestarian Tradisi Baratan Kalinyamatan Jepara pasca Pandemi tahun 2022, diungkap sejarah tradisi Baratan Jepara, erat kaitannya dengan sosok Ratu Kalinyamat yang memerintah Jepara pada tahun 1549 hingga 1579 Masehi.

Pada zaman dahulu, Ratu Kalinyamat sering mengikuti kegiatan doa di Desa Kriyan, Purwogondo, Kalinyamatan, Jepara.

Pada malam Nisfu Sya’ban, Ratu Kalinyamat pulang ke rumah setelah berdoa bersama pada malam hari. Jalan yang hendak dilewati Ratu Kalinyamat sangat gelap, sehingga masyarakat setempat merasa kasihan dan bergotong royong membuat obor untuk menerangi jalan Ratu Kalinyamat.

Oncor adalah lampu yang dibuat dari ujung bluluk (kelapa kecil), kemudian bagian bulatnya diberi minyak jarak atau minyak lainnya. Kemudian, lampu dipasang di depan rumah warga untuk menerangi jalan setapak yang dilewati Sang Ratu.

Sedangkan versi lain menyebut, tradisi baratan berasal dari ritual menolak bala yang dilakukan oleh penduduk Jepara pada masa lampau.

Saat itu, warga Jepara kerap menghadapi bencana alam seperti banjir dan badai. Mereka percaya bahwa bencana tersebut disebabkan oleh roh jahat yang bersemayam di desa mereka.

Untuk mengusir roh jahat tersebut, warga Jepara mengadakan arak-arakan lampion dan obor. Lampion dan obor melambangkan cahaya yang mampu menghalau kegelapan dan kejahatan. Prosesi tersebut juga diiringi dengan doa untuk memohon perlindungan Tuhan.

BACA JUGA :  Warga Sambut Antusias Aksi Jumat Berkah Sekarsari

Tradisi ini sebagaimana dilaksanakan warga Desa Robayan, pada Minggu 25 Februari 2024 lalu. Dalam tradisi tersebut, para peserta membawa lampion atau impes (lentera), yang terbuat dari kertas. Namun ada juga yang membawa lilin di atas piring kecil.

Festival ini diikuti ribuan peserta dari berbagai kalangan, mulai anak-anak hingga remaja. Mereka berjalan mengitari Desa Robayan.

Panitia acara, Fiza Luthfullah mengatakan bahwa festival impes ini merupakan kali pertama digelar di Desa Robayan. Fiza mengungkapkan, parade impes dipilih untuk mengenang kembali terkait sejarah legenda baratan versi lama.

Menurutnya, ada banyak versi terkait penyelenggaraan budaya baratan di Kalinyamatan. Fiza menuturkan, versi asli dari baratan sebetulnya adalah penyambutan dengan impes dan obor.

“Ada banyak versi, kenapa dipilih baratan ini karena kami ingin mengembalikan legenda baratan dengan versi originalnya dulu,” ungkap Fiza beberapa waktu lalu.

Parade impes baratan ini diikuti sepuluh kelompok dengan berbagai kreasi impes dan lampion yang beraneka ragam. Ia menaksir, setidaknya ada 500 peserta yang mengikuti parade impes baratan ini.

“Ada juga yang tidak tergabung dalam kelompok tapi ingin ikut memeriahkan kegiatan,” bebernya.

Parade impes baratan ini juga diharapkan dapat berlangsung setiap tahunnya. Menurut Fiza, kegiatan ini penting bagi pemuda dan masyarakat Desa Robayan untuk mengingat sejarah dan nguri-nguri budaya desa.

“Melihat anak-anak kecil pada antusias ikut ini, bisa menjadi sarana edukasi dan pengenalan budaya,” ucap dia.

Meskipun mengalami beberapa kendala, Fiza mengaku kegiatan tersebut dapat berjalan lancar. Pihaknya berharap ke depannya, parade impes baratan ini digelar semakin meriah dan kreatif.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini