Angka Putus Sekolah di Pati Capai 7.408 Anak, Berikut Rinciannya

waktu baca 2 menit
Sabtu, 1 Jun 2024 13:13 0 552 Singgih Tri

PATI – Mondes.co.id | Di Kabupaten Pati jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS) mencapai 7.408 orang. Hal ini diungkapkan oleh Jasman Hendratno selaku Konsultan UNICEF untuk pendidikan di Jawa Tengah beberapa hari lalu.

Data itu ia himpun dari catatan Cabang Dinas Pendidikan Wilayah III Provinsi Jawa Tengah. ATS terdiri dari beberapa golongan, antara lain putus sekolah alias drop out (DO), lulus tidak melanjutkan (LTM), dan belum pernah bersekolah (BPB).

Dalam laporan itu, ia mengungkapkan secara detail jumlah ATS di Bumi Mina Tani. Di antaranya, jumlah ATS golongan DO terdapat 2.225 anak, mulai dari 239 ATS di pendidikan tingkat dasar, 954 ATS di pendidikan tingkat menengah awal, dan 1.032 ATS di pendidikan tingkat menengah akhir.

Selanjutnya, ATS yang tergolong LTM sebanyak 2.767 anak. Mereka terdiri dari 700 ATS di pendidikan tingkat dasar dan 2.607 di pendidikan tingkat menengah.

Kemudian, ada pun ATS golongan BPB yang berjumlah 2.416 anak. Mereka di antaranya ATS usia 7 sampai 12 tahun sebanyak 735 anak, ATS usia 13 sampai 15 tahun sebanyak 710 anak, serta ATS usia lebih dari 15 tahun sebanyak 971 anak.

Dirinya bersama pemerintah daerah (Pemda) melakukan pendampingan secara berkelanjutan ke para ATS dan mendorong Pemda meminimalisir jumlah ATS yang mencapai ribuan ini.

“Kami mendesak supaya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pati pada bulan Agustus nanti, sudah ada hasil yang menunjukkan anak yang dikembalikan ke sekolah,” ucapnya, kemarin.

Pihaknya akan menunggu hasil kerja dari Pemkab Pati, sehingga memastikan kinerja Pemda efektif atau tidak dalam mengurangi jumlah ATS.

BACA JUGA :  Takraw Jepara Masih Berjaya, Sumbangkan Emas PON Untuk Jateng

“Kalau sudah ada yang dikembalikan ke sekolah nanti itu dipergunakan untuk praktik di desa-desa lain. Berkurangnya ATS menjadi target kami dan disepakati oleh Pemerintah Daerah,” ucapnya.

Tingginya ATS di Bumi Pesantenan diakibatkan oleh sejumlah faktor. Seperti pernikahan di bawah umur, kondisi ekonomi, budaya, hingga disabilitas.

“Ada faktor budaya, itu memang. Misalnya seperti ini, perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, yang penting dandan yang ayu biar segera laku nikah,” tutur pria yang aktif di organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

“Lalu ada faktor ekonomi sehingga menyebabkan anak usia sekolah menjadi anak jalan, anak terlantar, dan anak punk. Kemudian ada pula penyebab lainnya seperti penderita disabilitas,” pungkasnya.

Editor: Mila Candra

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA

Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini