JAKARTA – Mondes.co.id | Buntut dari aksi demonstrasi besar-besaran di Indonesia, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dinonaktifkan.
Sejumlah anggota ini dinonaktifkan, setelah sebelumnya memicu amarah masyarakat akibat pernyataan kontroversial yang dilontarkan.
Berdasarkan informasi yang dilansir dari Beritasatu.com, kelima anggota ini berasal dari fraksi NasDem, PAN, dan Golkar.
Lima anggota DPR periode 2024-2029 yang dimaksud yakni Ahmad Sahroni (NasDem), Nafa Urbach (NasDem), Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio (PAN), Surya Utama alias Uya Kuya (PAN), dan Adies Kadir (Golkar).
Lantas, apa arti istilah dinonaktifkan dalam konteks ini dan bagaimana penjelasannya menurut Undang-Undang MD3?
Partai NasDem mengawali langkah penonaktifan dengan mencopot Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari peran aktif mereka di DPR.
Keputusan itu ditandatangani langsung oleh Ketua Umum Surya Paloh dan Sekjen Partai NasDem Hermawi Taslim.
NasDem menilai keduanya telah mengeluarkan pernyataan yang menyinggung dan mencederai perasaan rakyat, yang dianggap sebagai penyimpangan dari perjuangan partai.
Hal serupa juga dilakukan PAN.
Partai ini menonaktifkan Eko Patrio yang menjabat Wakil Ketua Komisi VI DPR RI sekaligus Sekjen PAN, serta Surya Utama alias Uya Kuya yang duduk di Komisi IX DPR RI.
Sementara itu, Partai Golkar memutuskan menonaktifkan Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir, setelah pernyataannya soal tunjangan DPR viral dan menuai kecaman publik.
Ketiga partai menegaskan bahwa langkah ini diambil untuk menjaga marwah partai dan merespons aspirasi masyarakat.
Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI, Nazaruddin Dek Gam, menjelaskan bahwa penonaktifan anggota DPR bermasalah, penting dilakukan untuk menjaga marwah lembaga legislatif.
Menurutnya, status nonaktif bukan sekadar simbolik, karena anggota yang dinonaktifkan tidak bisa lagi beraktivitas seperti biasa di DPR dan tidak memperoleh fasilitas yang melekat.
“Kalau sudah dinonaktifkan, artinya mereka tidak bisa lagi beraktivitas sebagai anggota DPR,” kata Nazaruddin kepada wartawan, dikutip Senin (1/9/2025).
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menegaskan istilah nonaktif tidak dikenal dalam UU MD3.
Jika merujuk pada UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang telah diubah dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, tidak ada istilah “penonaktifan” anggota DPR.
Dalam UU MD3, status keanggotaan DPR hanya dapat berubah melalui tiga mekanisme resmi:
Dengan demikian, penonaktifan yang dilakukan partai politik tidak serta-merta mengubah status hukum anggota DPR.
Menurutnya, langkah Parpol menonaktifkan kader hanya merupakan kebijakan internal, bukan mekanisme hukum yang berdampak pada keanggotaan DPR.
“Mereka masih sah sebagai anggota DPR, tetap berhak menerima gaji dan fasilitas,” ujarnya kepada wartawan.
Titi menilai, demi menjaga marwah pribadi dan kredibilitas partai, lebih terhormat jika anggota DPR yang bersangkutan memilih mengundurkan diri secara sukarela.
Hal ini dinilai memberi kepastian hukum, sekaligus menunjukkan sikap etis dan tanggung jawab kepada publik.
“Itu lebih terhormat dan memberi kepastian hukum, sekaligus sikap etis sekaligus tanggung jawab kepada publik,” katanya.
Editor: Mila Candra
Anda tidak dapat menyalin konten halaman ini
Tidak ada komentar